weblog.

Memori Part 1 – Awal

WhatsApp
Facebook
X
LinkedIn

Prolog

Beberapa waktu lalu, hard disk saya tiba-tiba rusak.
Semua data, file, dokumen, dan kenangan digital yang tersimpan selama bertahun-tahun hilang begitu saja.

Kejadian itu membuat saya kepikiran satu hal: memori.

Karena saya kuliah di bidang yang juga bersinggungan dengan komputer dan teknologi, saya tahu betul bahwa dalam dunia komputer, memori adalah aspek yang krusial dan mendasar. Dan semakin saya renungi, ternyata konsep memori di komputer ini punya banyak kemiripan dengan memori manusia.

Keduanya menyimpan informasi, punya batasan kapasitas, bisa rusak, bahkan bisa hilang tanpa peringatan. Tapi yang paling menarik, bukan soal apa yang bisa disimpan — melainkan apa yang bisa diakses kembali.

Dari situ, saya mulai bertanya:

Apa memori atau ingatan paling awal yang masih bisa saya ingat secara jelas?
Bukan sekadar potongan atau bayangan kabur, tapi yang utuh — lengkap dengan tempat, suasana, orang-orang di sekitarnya, dan perasaan saya waktu itu.

Memori Awal

Kalau saya pikir-pikir lagi, memori paling awal yang masih saya ingat secara utuh adalah saat pertama kali masuk TK Kecil.

Saya diantar oleh bapak saya ke dalam kelas, lalu beliau menyerahkan saya ke guru TK dan berpamitan.
Dan tentu saja… saya menangis.

Bukan karena tidak suka sekolah, tapi karena saya tidak mau ditinggal.
Rasanya sedih banget, seolah-olah ayah saya nggak akan kembali lagi. Padahal, lucunya, bapak saya itu guru SD di gedung yang sama. 😅

Saya masih ingat ruang kelasnya seperti apa, wajah guru TK-nya, dan perasaan saya waktu itu. Semua masih terekam jelas.

Tapi ternyata, ada memori yang lebih awal lagi.

Saya ingat suatu malam, saya menangis di rumah mbah saya di Blitar. Malam itu hujan badai. Orang tua saya sedang pergi ke nikahan om saya, dan saya ditinggal. Saya digendong oleh nenek saya sambil terus menangis sampai orang tua saya pulang.

Setelah saya tanya ke ibu saya, ternyata kejadian itu terjadi saat saya berumur 3 tahun.

Selebihnya?

Semakin saya coba dorong memori ke belakang, semakin samar. Yang tersisa hanya potongan-potongan: suara, suasana, mungkin satu-dua gambar. Tapi tidak ada yang benar-benar utuh seperti dua memori tadi.

Kenapa Kita Tidak Bisa Mengingat Saat Kita Bayi?

Ini pertanyaan besar yang muncul setelah saya menyadari betapa terbatasnya akses kita terhadap memori masa kecil.

Padahal, di masa itu terjadi begitu banyak hal penting:
Kita disusui, digendong, dibersihkan, dijaga, dipeluk, dan disayangi sepenuh hati. Tapi hampir tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengingatnya secara sadar.

Menariknya, ini juga sejalan dengan makna dari doa yang sering kita baca:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا
Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu aku kecil.

Anehnya, kalau kita bertanya kepada anak kecil berusia sekitar 2 tahun yang sudah mulai bisa berbicara, mereka masih bisa mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.

Contohnya, beberapa waktu lalu saya bertanya kepada keponakan saya yang usianya hampir 3 tahun:
“Kemarin waktu ke Jogja, ingat nggak?”

Dengan polosnya, dia menjawab:
“Ingat… naik mobil lama.”

Saya langsung tertegun.
Loh, kok bisa ingat?

Padahal menurut teori memori, di usia itu seharusnya ingatan belum terbentuk secara utuh. Tapi buktinya, dia bisa merespons dengan memori yang cukup detail.

Namun saya juga sadar, kemungkinan besar saat dia dewasa nanti, ingatan itu akan hilang.
Memori itu tidak akan ikut tumbuh bersamanya. Mungkin hanya akan menjadi kabut samar yang tertimbun oleh pengalaman-pengalaman baru.

Dan ternyata, hal ini bukan sekadar intuisi. Dunia sains menyebutnya sebagai fenomena childhood amnesia — atau infantile amnesia, yaitu ketidakmampuan otak manusia untuk menyimpan dan mengakses kembali memori yang terjadi di usia sangat muda (biasanya sebelum usia 3 atau 4 tahun).

Menurut penelitian neuroscience, ini terjadi karena bagian otak kita yang bertugas menyimpan memori jangka panjang — yaitu hipokampusbelum berkembang sempurna di usia tersebut.

Ditambah lagi, kemampuan bahasa yang masih terbatas membuat kita belum bisa mengkodekan pengalaman ke dalam bentuk memori yang bisa diingat dan diceritakan kembali di kemudian hari.

Jadi meskipun saat kecil kita bisa merasakan, mengalami, dan bahkan sesekali mengingat — seiring waktu, semua itu akan hilang dari kesadaran kita.

Yang tersisa hanya perasaan…
Dan mungkin bekas emosi yang tak bernama.

Ironisnya, justru di masa itulah kita menerima cinta paling tulus dari orang tua kita.
Tapi semua itu… tidak kita ingat.

Bayangkan, kita tidak mengingat apapun saat kita dijaga dan disayangi dengan sepenuh hati.
Tapi memori itu tetap ada — bukan di kepala kita, tapi di mereka.
Di ayah dan ibu kita.

Dan mungkin itulah mengapa kita harus tetap berterima kasih dan mendoakan mereka.
Karena kita tidak pernah tahu sebesar apa cinta mereka yang tidak sempat kita sadari.

Jadi, adakah di antara kamu yang masih ingat saat disusui oleh ibu?
Masih ingat saat digendong ke mana-mana?
Saya yakin… tidak.
Tapi itu tidak berarti hal-hal itu tidak terjadi.

5 comments

  1. nice bgt gan, seketika saya baca artikel ini saya teringat beberapa memori masa kecil yang samar secara mendadak

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

weblog lainya

thought

Memori Part 2 – Core Memory

Menurut saya, budaya populer atau pop culture, sadar atau tidak, sangat memengaruhi cara kita hidup hari ini.Mulai dari ikut trend yang sedang hype, FOMO (Fear

Read More »
thought

Memori Part 1 – Awal

Prolog Beberapa waktu lalu, hard disk saya tiba-tiba rusak.Semua data, file, dokumen, dan kenangan digital yang tersimpan selama bertahun-tahun hilang begitu saja. Kejadian itu membuat

Read More »